Minggu, 15 Juni 2014

Pendidikan Kewarganegaraan

Menghidupkan Kembali Eksistensi Pancasila ditengah Arus Globalisasi


Globalisasi berkembang dengan pesat karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi. Batas sekat baik ruang dan waktu menjadi tiada dengan kemudahan akses informasi. Al hasil informasi-informasi yang sifatnya global atau mendunia sangat mudah menyebar melewati batas Negara dan bangsa. Kondisi ini menyebabkan terjadi pula pertukaran informasi-informasi seputar kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang dimiliki masing-masing Negara dan bangsa. Masyarakat Indonesia pun demikian, semakin banyak mengetahu tentang nilai-nilai dan kebudayaan asing.

Perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada tiga jenis manusia Indonesia dalam menyikapi globalisasi. Tiga jenis manusia itu adalah  yang pertama mereka yang akhirnya meniru kebudayaan asing : ini kebanyakan kita temui pada kaum muda Indonesia. Saya masih ingat ketika dulu demam india melanda, demam manadarin, lalu demam jepang, dan akhirnya demam korea dan boyband seperti saat ini. Pada masa demam-demam itu jurusan sastra masing-masingnya menjadi laris dimasuki anak-anak muda, mahasiswa baru. Kondisi itu pula yang membuat orang tua negeri ini kelimpungan memikirkan akan dibawa kemana masa depan bangsa. Nilai-nilai kearifan bangsa terkikis karena budaya asing lebih menarik bagi generasi muda bangsa. Golongan ini jumlahnya sangat banyak dan menjadi kenormalan saat ini pada generasi muda.

Yang kedua adalah mereka yang tetap memelihara kebudayaan sendiri. Generasi muda yang masuk dalam golongan ini cukup sedikit. Bahkan tak jarang dianggap aneh, kuno, kampungan ketika ada orang Indonesia khususnya pemuda yang memegang teguh budaya dan nilai-nilai kebangsaan. Kalau ada yang bisa main gamelan dianggap orang jadul, bisa menari tarian daerah dianggap tidak modern karena bukanbreakdance. Namun golongan yang sedikit inilah yang bersusah payah menjaga kebudayaan dan kearifan bangsa Indonesia.

Golongan ketiga dan yang terakhir adalah mereka yang terombang-ambing antara dua pilihan diatas. Golongan ini juga cukup banyak. Mereka sangat bergantung pada lingkungan sosialnya. Saudara, keluarga, dan teman-temannya yang menentukan apakah nantinya dia masuk dalam golongan pertama atau golongan kedua. Golongan ini ibaratnya suara mengambang dalam pemilu yang dikejar-kejar oleh parpol untuk menaikkan suara pemilih mereka.

Terpaan arus globalisasi ini mau tidak mau harus diperhatikan oleh segenap masyarakat bangsa. Berkaca pada pembagian golongan diatas, fakta golongan pertama yang banyak terdapat di Indonesia menjadi perhatian khusus. Karena dari sana tergambar bahwa kebanyakan masyarakat khususnya generasi muda tidak begitu memerhatikan identitas bangsanya. Identitas bangsa mungkin dianggap jadul dan tidak relevan untuk masa kini. Budaya asing lebih memengaruhi identitas masyarakat dan pemuda saat ini.

Wajar kalau saat ini, musik dan lagu asing lebih sering kita dengar daripada musik dan lagu asli Indonesia. Tarian asing lebih dinikmati daripada tarian tradisional, dan model pakaianpun mengikuti model asing karena model pribumi kuno dan tidak up to date. Lalu bagaimana cara mengeksiskan kembali identitas bangsa Indonesia dalam arus globalisasi dan multikultural saat ini? Semua manusia Indonesia tampaknya sepakat bahwa kita sebagai masyarakat hendaknya kembali kepada nilai-nilai pancasila. Mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan.

Namun ternyata tak semudah kata terucap. Saat ini yang terjadi kalau anda bertanya pada mahasiswa tentang mata kuliah apa yang paling membosankan, maka kebanyakan akan menyebut kewarganegaraan atau pendidikan pancasila. Beberapa merasa mata kuliah tersebut terlalu mudah sehingga bosan mempelajarinya berulang-ulang. Sebagian lagi merasa bosan karena walau dipelajari berkali-kali tetap tidak masuk ke kepala. Namun kalau ditanya kepada mahasiswa tentang apa alat pemersatu bangsa, jelas dan tegas mereka akan menjawab “Pancasila”.

Pancasila hanya sekedar menjadi simbol belaka tanpa makna, sebatas kognitif pada pelajaran sekolah dan kampus tanpa pemaknaan secara afeksi dan perilaku. Kalau kita tetap yakin pancasila satu-satunya alat pemersatu bangsa, penguat identitas bangsa dalam komunitas global dan multikultural saat ini, setidaknya ada 3 langkah yang perlu diperhatikan. 
Yang pertama membangun kepercayaan diri bangsa bahwa kebudayaan Indonesia serta kearifan lokal merupakan sesuatu yang peka jaman, selalu up to date, dan tidak kalah dengan kebudayaan asing. Bahkan budaya Indonesia jauh lebih beragam daripada budaya asing, ini menandakan keragaman sudut pandang masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan.

Yang kedua membangun keyakinan terhadap esensi dari pancasila, mengapa pancasila menjadi dasar Negara, serta mau mempelajari dan mempraktikkannya dalam keseharian. Secara historis pancasila tidak muncul tiba-tiba, ada proses disana dan disepakati bersama karena pancasila merupakan representasi dari pemersatu keragaman budaya Indonesia.

Yang ketiga membangun keyakinan bahwa budaya yang paling cocok untuk orang Indonesia adalah budaya yang berasal dari tanah air sendiri. Mungkin budaya asing bisa terserap menjadi budaya Indonesia, namun tetap perlu ada filter sehingga yang baik-baik sajalah yang terserap.


Saya meyakini identitas bangsa akan kuat di tengah globalisasi saat ini jika tiga hal diatas terwujud pada diri masing-masing anak bangsa. Selain itu  proses penginternalisasi nilai-nilai pancasila menjadi karakter kepribadian setiap anak bangsa juga menjadi penguat munculnya identitas bangsa yang membuat kita berbeda dan memiliki makna bagi negara dan bangsa lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar