PENGELOLAAN LIMBAH DI INDONESIA
Penanganan sampah khususnya di kota-kota besar di Indonesia merupakan salah satu permasalahan perkotaan yang sampai saat ini merupakan tantangan bagi pengelola kota. Pertambahan penduduk dan peningkatan aktivitas yang demikian pesat di kota-kota besar, telah mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah disertai permasalahannya. Diprakirakan rata-rata hanya sekitar 40% – 50% yang dapat terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh institusi yang bertanggung jawab atas masalah sampah dan kebersihan, seperti Dinas Kebersihan.
Kemampuan pengelola kota menangani sampahnya dalam 10 tahun terakhir cenderung menurun, antara lain karena era otonomi dan kemampuan pembiayaan yang rendah. Berdasarkan Laporan Kementerian Lingkungan Hidup (2004), pada tahun 2001 diperkirakan pengelola sampah kota hanya mampu melayani sekitar 32% penduduk kota, dari 384 kota di Indonesia. Hanya sekitar 40% dari sampah yang dihasilkan oleh daerah urban yang dapat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPS). Sisanya ditangani oleh penghasil sampah dengan berbagai cara, seperti dibakar (35%), ditimbun dalam tanah (7,5%), dikomposkan (1,61%), dan beragam upaya, termasuk daur-ulang, atau dibuang di mana saja seperti di tanah kososng, drainase atau badan air lainnya.
Paradigma umum yang dijumpai sampai saat ini dalam pengelolaan sampah kota di Indonesia adalah kumpul – angkut – buang. Seiring dengan pertambahan penduduk, tambah lama akan tambah banyak jumlah sampah yang harus ditangani. Defisit anggaran dalam penanganan sampah kota merupakan hal yang biasa terdengar, sehingga agak sulit bagi pengelola sampah untuk berfikir ke depan dalam upaya pengembangan. Prasarana yang tersedia tambah lama akan tambah tua dan tambah terbatas kemampuannya. Disamping itu, sebagian besar PEMDA sampai saat ini menganggap bahwa penanganan sampah belum menjadi prioritas yang penting, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sulit. Dengan demikian beban pengelola sampah kota menjadi tambah berat, kecuali bila cara pandang dalam pengelolaan sampah diperbaiki. Perbaikan ini tidak dapat dilakukan dalam waktu sekejap, karena menyangkut pula cara pandang masyarakat penghasil sampah, dan yang juga penting adalah cara pandang pengambil keputusan baik eksekutif maupun legislatif.
Sampai saat ini andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Biasanya pengelola kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah kasus TPA Bantar Gebang di Bekasi, TPA Keputih di Surabaya, TPA Leuwigajah di Cimahi-Bandung, dan TPA-TPA lain yang terungkap di mass media. Aktivitas utama pemusnahan sampah di TPA adalah dengan landfilling. Beragam tingkat teknologi landfilling, diantaranya yang paling sering disebut adalah sanitary landfill. Dapat dipastikan bahwa yang digunakan di Indonesia adalah bukan landfilling yang baik, karena hampir seluruh TPA di kota-kota di Indonesia hanya menerapkan apa yang dikenal sebagai open-dumping, yang sebetulnya tidak layak disebut sebagai sebuah bentuk teknologi penanganan sampah.
PENGELOLAAN LIMBAH DI SWEDIA
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan
bahwa sampah merupakan salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber
energi. dasar pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan
pemanfaatan sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu
didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi. Landasan
kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah harus dikurangi
sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur ulang
ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi
secara signifikan. Sehingga, kebijaksanaan pengelolaan sampah swedia antara
lain meliputi: Pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang
sampai dengan 70 % pada tahun 2015. Sampah yang dapat dibakar (combustible
waste) tidak boleh dibuang ke TPA sejak tahun 2002. Sampah organik tidak boleh
dibuang ke TPA lagi pada tahun 2005. Tahun 2008 pengelolaan lokasi landfill
harus harus sesuai dengan ketentuan standar lingkungan. Pengembangan teknologi
tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.
Kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat yang
mengerti arti kebersihan dan energi, membuat Swedia menjadi negara maju dalam
pengelolaan sampah. Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang
menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan
angka itu menjadi hanya satu persen.
Swedia, negara terbesar ke-56 di dunia, dikenal
memiliki manajemen sampah yang baik. Mayoritas sampah rumah tangga di negara
Skandinavia itu bisa didaur ulang atau digunakan kembali. Satu-satunya dampak
negatif dari kebijakan ini adalah Swedia kini kekurangan sampah untuk dijadikan
bahan bakar pembangkit energinya.
Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun
dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari
Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program
Sampah-Menjadi-Energi (Waste-to-Energy) di Swedia. Dengan tujuan utama mengubah
sampah menjadi energi panas dan listrik.
Norwegia, sebagai negara pengekspor, bersedia
dengan perjanjian ini karena dianggap lebih ekonomis dibanding membakar sampah
yang ada. Namun, dalam rencana perjanjian disebutkan, sampah beracun, abu dari
proses kremasi, atau yang penuh dengan dioksin, akan dikembalikan ke
Norwegia.Sedangkan bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam
hal efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia.Membakar sampah dalam
insinerator mampu menghasilkan panas. Di mana energi panas ini kemudian
didistribusikan melalui pipa ke wilayah perumahan dan gedung komersial. Energi
ini juga mampu menghasilkan listrik bagi rumah rakyatnya.
Kebijakan ini bisa meningkatkan nilai dari sampah
di masa depan. “Mungkin Anda bisa menjual sampah karena ada krisis sumber daya
di dunia,” ujar Ostlund. Sesudah Norwegia, Swedia menargetkan mengimpor
sampah dari Bulgaria, Rumania, dan Italia. Selain membantu Swedia dalam
menyediakan sumber energi, impor sampah ini juga menjadi solusi pengelolaan
sampah bagi negara-negara pengekspornya.
PENGELOLAAN LIMBAH DI JEPANG
Secara prinsip sampah dibagi dalam empat jenis,
yaitu sampah bakar (combustible), sampah tidak bakar (non-combustible),
sampah daur ulang (recycle), dan sampah ukuran besar. Ada jadwal
hari-hari tertentu yang mengatur jenis sampah apa yang dapat dibuang. Petugas
akan mengambil sampah setiap hari sesuai dengan jadwal dan jenis sampahnya.Satu hal lagi, untuk sampah minyak
goreng atau minyak jelantah, tidak boleh dibuang ke saluran air. Hal tersebut
dikhawatirkan mencemari air tanah. Oleh karena itu, di Jepang dijual bubuk yang
berfungsi membekukan sisa minyak goreng tersebut. Bubuk itu ditaburi di
atas minyak hingga berubah menjadi gel. Setelah itu, minyak jelantah yang
sudah berbentuk gel dapat dibuang ke tempat sampah.Masalahnya, mereka hanya
mengambil plastik sampah yang tepat jenis dan sesuai jadwalnya. Kalau salah
jadwal, atau jenisnya kita campur-campur (misalnya botol minum di sampah
makanan), sampah tidak akan diangkat
Sampah sebagai masalah Kritis dan Penting.Undangan
mengunjungi pusat pengolahan sampah di distrik Meguro, Tokyo, tersebut tidak
kami sia-siakan. Kami berkumpul di pusat pengolahan sampah pukul 10.00 pagi
untuk kemudian dilanjutkan dengan melihat proses pengolahan sampah.Namun sebelum melihat proses pengolahan,
kita diterangkah terlebih dahulu betapa kritis dan pentingnya urusan sampah
ini. Kebanyakan dari kita memang terkesan menganggap sepele bahkan tidak peduli
dengan masalah pembuangan sampah. Padahal ketidakpedulian itu dapat menimbulkan
masalah lingkungan hidup yang serius.Lahan
tanah di dunia kini sudah hampir mencapai puncak kapasitasnya. Sampah yang
menimbun di permukaan tanah akan mengakibatkan kontaminasi pada resapan air
tanah, yang pada akhirnya dapat meracuni kehidupan dan mengkontaminasi air
tanah. Sementara itu, cara pengolahan sampah dengan membakar secara tradisional
dapat mengakibatkan jumlah besar karbon monoksida dan gas karsinogen yang akan
mengotori atmosfer. Selain itu, kita juga dijelaskan bahwa tidak semua sampah
bisa didaur ulang oleh tanah.Oleh
karenanya, upaya manajemen sampah yang baik, serta kepedulian dalam
memisah-misahkan sampah plastik, metal, botol, karet, dan benda-benda sejenis,
menjadi penting untuk kesinambungan lingkungan hidup.
Proses Pengolahan Sampah di Jepang.Kami kemudian diajak melihat bagaimana
sampah diolah sejak awal. Truk-truk sampah masuk ke pusat pengolahan melalui
pintu utama. Di situ truk tersebut ditimbang untuk mengetahui berat sampah yang
dibawa.Dari sana sampah-sampah dimasukkan
ke tempat pembakaran. Hari itu, kebetulan sedang dilakukan proses untuk sampah
bakar, atau sampah basah rumah tangga. Timbunan sampah yang berasal dari
sisa-sisa makanan, kotoran dapur, dimasukkan ke dalam sebuah tempat penampungan
besar. Ada bungkus tahu, sisa tulang ikan, dan aneka makanan sisa lainnya
dimasukkan ke tempat itu. Dari situ, sampah dimasukkan ke tempat pembakaran dan
kemudian dibakar.Hal yang menarik adalah
ternyata ampas dari sampah-sampah tersebut bisa dimanfaatkan menjadi
“cone-block” untuk lapisan jalanan. Jadi saya baru tahu kalau cone-blok di
trotoar kota Tokyo sebagian di antaranya dibuat dari sampah yang kita buang
setiap hari.Selain bermanfaat untuk membuat cone-block, pembakaran sampah di
Jepang juga dapat menjadi salah satu sumber daya penghasil listrik.Sementara
untuk cairan dari sampah basah, pusat pengolahan tersebut memiliki mesin
penyulingan air yang fungsinya membersihkan air dari sampah, sebelum kemudian
dialirkan kembali ke sungai.Sistem daur ulang di Jepang menganut dua langkah
dasar. Pertama, pemisahan material dan pengumpulan. Kedua, pemrosesan dan daur
ulang sampah. Kedua hal tersebut bisa berhasil karena dilakukan secara gotong
royong antara masyarakat dan pemerintah. Setiap rumah tangga di Jepang secara
sadar melakukan langkah pertama. Sementara pihak pemerintah daerah melakukan
langkah kedua.Kesadaran, gotong royong, dan kerjasama yang baik antar warga,
pemerintah, dan segenap elemen masyarakat menjadikan pengolahan sampah di
Jepang dapat berjalan dengan lancar.
Ref :