Menghidupkan Kembali Eksistensi Pancasila ditengah Arus Globalisasi
Globalisasi berkembang dengan pesat karena
pengaruh perkembangan teknologi komunikasi. Batas sekat baik ruang dan waktu
menjadi tiada dengan kemudahan akses informasi. Al hasil informasi-informasi
yang sifatnya global atau mendunia sangat mudah menyebar melewati batas Negara
dan bangsa. Kondisi ini menyebabkan terjadi pula pertukaran
informasi-informasi seputar kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang dimiliki
masing-masing Negara dan bangsa. Masyarakat Indonesia pun demikian, semakin
banyak mengetahu tentang nilai-nilai dan kebudayaan asing.
Perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada tiga
jenis manusia Indonesia dalam menyikapi globalisasi. Tiga jenis manusia itu adalah yang pertama
mereka yang akhirnya meniru kebudayaan asing : ini kebanyakan kita temui pada
kaum muda Indonesia. Saya masih ingat ketika dulu demam india melanda, demam
manadarin, lalu demam jepang, dan akhirnya demam korea dan boyband seperti saat
ini. Pada masa demam-demam itu jurusan sastra masing-masingnya menjadi laris
dimasuki anak-anak muda, mahasiswa baru. Kondisi itu pula yang membuat orang
tua negeri ini kelimpungan memikirkan akan dibawa kemana masa depan bangsa.
Nilai-nilai kearifan bangsa terkikis karena budaya asing lebih menarik bagi
generasi muda bangsa. Golongan ini jumlahnya sangat banyak dan menjadi
kenormalan saat ini pada generasi muda.
Yang kedua adalah mereka yang tetap memelihara
kebudayaan sendiri. Generasi muda yang masuk dalam golongan ini cukup sedikit.
Bahkan tak jarang dianggap aneh, kuno, kampungan ketika ada orang Indonesia
khususnya pemuda yang memegang teguh budaya dan nilai-nilai kebangsaan. Kalau
ada yang bisa main gamelan dianggap orang jadul, bisa menari tarian daerah
dianggap tidak modern karena bukan breakdance. Namun golongan yang
sedikit inilah yang bersusah payah menjaga kebudayaan dan kearifan bangsa
Indonesia.
Golongan ketiga dan yang terakhir adalah mereka
yang terombang-ambing antara dua pilihan diatas. Golongan ini juga cukup
banyak. Mereka sangat bergantung pada lingkungan sosialnya. Saudara, keluarga,
dan teman-temannya yang menentukan apakah nantinya dia masuk dalam golongan
pertama atau golongan kedua. Golongan ini ibaratnya suara mengambang dalam
pemilu yang dikejar-kejar oleh parpol untuk menaikkan suara pemilih mereka.
Terpaan arus globalisasi ini mau tidak mau harus
diperhatikan oleh segenap masyarakat bangsa. Berkaca pada pembagian golongan
diatas, fakta golongan pertama yang banyak terdapat di Indonesia menjadi perhatian
khusus. Karena dari sana tergambar bahwa kebanyakan masyarakat khususnya
generasi muda tidak begitu memerhatikan identitas bangsanya. Identitas bangsa
mungkin dianggap jadul dan tidak relevan untuk masa kini. Budaya asing lebih
memengaruhi identitas masyarakat dan pemuda saat ini.
Wajar kalau saat ini, musik dan lagu asing lebih
sering kita dengar daripada musik dan lagu asli Indonesia. Tarian asing lebih
dinikmati daripada tarian tradisional, dan model pakaianpun mengikuti model
asing karena model pribumi kuno dan tidak up to date. Lalu bagaimana cara mengeksiskan kembali
identitas bangsa Indonesia dalam arus globalisasi dan multikultural saat ini?
Semua manusia Indonesia tampaknya sepakat bahwa kita sebagai masyarakat
hendaknya kembali kepada nilai-nilai pancasila. Mengimplementasikan nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan.
Namun ternyata tak semudah kata terucap. Saat ini
yang terjadi kalau anda bertanya pada mahasiswa tentang mata kuliah apa yang
paling membosankan, maka kebanyakan akan menyebut kewarganegaraan atau
pendidikan pancasila. Beberapa merasa mata kuliah tersebut terlalu mudah
sehingga bosan mempelajarinya berulang-ulang. Sebagian lagi merasa bosan karena
walau dipelajari berkali-kali tetap tidak masuk ke kepala. Namun kalau ditanya
kepada mahasiswa tentang apa alat pemersatu bangsa, jelas dan tegas mereka akan
menjawab “Pancasila”.
Pancasila hanya sekedar menjadi simbol belaka
tanpa makna, sebatas kognitif pada pelajaran sekolah dan kampus tanpa pemaknaan
secara afeksi dan perilaku. Kalau kita tetap yakin pancasila satu-satunya
alat pemersatu bangsa, penguat identitas bangsa dalam komunitas global dan
multikultural saat ini, setidaknya ada 3 langkah yang perlu diperhatikan.
Yang pertama membangun kepercayaan diri bangsa
bahwa kebudayaan Indonesia serta kearifan lokal merupakan sesuatu yang peka
jaman, selalu up to date, dan tidak kalah dengan kebudayaan asing.
Bahkan budaya Indonesia jauh lebih beragam daripada budaya asing, ini
menandakan keragaman sudut pandang masyarakat Indonesia dalam menjalani
kehidupan.
Yang kedua membangun keyakinan terhadap esensi
dari pancasila, mengapa pancasila menjadi dasar Negara, serta mau mempelajari
dan mempraktikkannya dalam keseharian. Secara historis pancasila tidak muncul
tiba-tiba, ada proses disana dan disepakati bersama karena pancasila merupakan
representasi dari pemersatu keragaman budaya Indonesia.
Yang ketiga membangun keyakinan bahwa budaya yang
paling cocok untuk orang Indonesia adalah budaya yang berasal dari tanah air
sendiri. Mungkin budaya asing bisa terserap menjadi budaya Indonesia, namun
tetap perlu ada filter sehingga yang baik-baik sajalah yang terserap.
Saya meyakini identitas bangsa akan kuat di
tengah globalisasi saat ini jika tiga hal diatas terwujud pada diri
masing-masing anak bangsa. Selain itu proses penginternalisasi
nilai-nilai pancasila menjadi karakter kepribadian setiap anak bangsa juga
menjadi penguat munculnya identitas bangsa yang membuat kita berbeda dan
memiliki makna bagi negara dan bangsa lain.
Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada
tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai
perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah
Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di
seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja
Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij
(partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25
Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status
badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada
November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite
Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu
melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus
tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari
rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun
mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku
Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang
dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi
juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja
sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial
Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses
pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman
dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat
tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan
rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang
bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut
rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya
keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan
Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri
Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah
terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913
sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami
masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama
rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak
nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa)
pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan
kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam
membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan
kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian
dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema
tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah
dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang,
kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah
Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk
sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan
K.H. Mas Mansur.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris
Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan
dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman
Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan
nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat
benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep
dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya
tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi,
status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di
belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Cepot
Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.
Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di
tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara
yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan
bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan
sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.
Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa
ikut dengan bersenjata bedog alias golok (di Tanah Sunda dikenal juga ada salah
satu jenis bedog: bedog cepot). Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata
panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.
Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar
Badranaya. Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran
tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang mempunyai
rapot merah. Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia
pergi. Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat dinanti-nanti
karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot sebagai
kokojo/tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep Sunandar
ditulis atas nama Cepot.
Rafflesia arnoldi
Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi)
ditetapkan menjadi puspa langka melengkapi Melati Putih (puspa bangsa) dan
Anggrek Bulan (puspa pesona). Selain menjadi salah satu dari bunga nasional, Rafflesia
arnoldii juga menjadi flora identitas provinsi Bengkulu.
Rafflesia arnoldii atau padma raksasa
yang merupakan tanaman endemik Sumatera merupakan satu dari sekitar 30-an jenis
Rafflesia yang ditemukan di Asia Tenggara, mulai dari semenanjung Malaya, Kalimantan, Sumatra,
dan Filipina. Dinamakan padma raksasa lantaran ukuran bunganya yang mampu
mencapai diameter 100 cm dengan berat 10 kg.
Tubuhan yang ditetapkan sebagai puspa langka ini
tidak memiliki batang, daun, maupun akar yang sebenarnya. Tumbuhan ini hidup
secara endoparasit pada tumbuhan inangnya. Satu-satunya bagian
tumbuhan Rafflesia yang dapat dilihat di luar tumbuhan inangnya
adalah bunga bermahkota lima.
Sampai saat ini Rafflesia arnoldii tidak
pernah berhasil dikembangbiakkan di luar habitat aslinya dan apabila akar atau
pohon inangnya mati, Raflesia akan ikut mati. Oleh karena itu Raflesia
membutuhkan habitat hutan primer untuk dapat bertahan hidup. Mungkin lantaran
hal ini yang kemudian menjadi dasar pertimbangan sehingga padma raksasa
ditetapkan sebagai puspa langka Indonesia. Bersama melati putih (puspa bangsa)
dan anggrek bulan (puspa pesona), Rafflesia arnoldii menjadi bunga
nasional Indonesia.Patma raksasa sering disamakan dengan bunga bangkai (Amorphpophallus
titanium). Padahal keduanya adalah bunga yang berbeda.
Klasifikasi ilmiah padma raksasa adalah sebagai
berikut: Kerajaan: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida;
Ordo: Malpighiales; Famili: Rafflesiaceae; Genus: Rafflesia;
Spesies: Rafflesia arnoldi.