Sabtu, 22 Maret 2014

Pendidikan Kewarganegaraan

Menghidupkan Kembali Eksistensi Pancasila ditengah Arus Globalisasi


Globalisasi berkembang dengan pesat karena pengaruh perkembangan teknologi komunikasi. Batas sekat baik ruang dan waktu menjadi tiada dengan kemudahan akses informasi. Al hasil informasi-informasi yang sifatnya global atau mendunia sangat mudah menyebar melewati batas Negara dan bangsa. Kondisi ini menyebabkan terjadi pula pertukaran informasi-informasi seputar kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang dimiliki masing-masing Negara dan bangsa. Masyarakat Indonesia pun demikian, semakin banyak mengetahu tentang nilai-nilai dan kebudayaan asing.

Perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada tiga jenis manusia Indonesia dalam menyikapi globalisasi. Tiga jenis manusia itu adalah  yang pertama mereka yang akhirnya meniru kebudayaan asing : ini kebanyakan kita temui pada kaum muda Indonesia. Saya masih ingat ketika dulu demam india melanda, demam manadarin, lalu demam jepang, dan akhirnya demam korea dan boyband seperti saat ini. Pada masa demam-demam itu jurusan sastra masing-masingnya menjadi laris dimasuki anak-anak muda, mahasiswa baru. Kondisi itu pula yang membuat orang tua negeri ini kelimpungan memikirkan akan dibawa kemana masa depan bangsa. Nilai-nilai kearifan bangsa terkikis karena budaya asing lebih menarik bagi generasi muda bangsa. Golongan ini jumlahnya sangat banyak dan menjadi kenormalan saat ini pada generasi muda.

Yang kedua adalah mereka yang tetap memelihara kebudayaan sendiri. Generasi muda yang masuk dalam golongan ini cukup sedikit. Bahkan tak jarang dianggap aneh, kuno, kampungan ketika ada orang Indonesia khususnya pemuda yang memegang teguh budaya dan nilai-nilai kebangsaan. Kalau ada yang bisa main gamelan dianggap orang jadul, bisa menari tarian daerah dianggap tidak modern karena bukan breakdance. Namun golongan yang sedikit inilah yang bersusah payah menjaga kebudayaan dan kearifan bangsa Indonesia.

Golongan ketiga dan yang terakhir adalah mereka yang terombang-ambing antara dua pilihan diatas. Golongan ini juga cukup banyak. Mereka sangat bergantung pada lingkungan sosialnya. Saudara, keluarga, dan teman-temannya yang menentukan apakah nantinya dia masuk dalam golongan pertama atau golongan kedua. Golongan ini ibaratnya suara mengambang dalam pemilu yang dikejar-kejar oleh parpol untuk menaikkan suara pemilih mereka.

Terpaan arus globalisasi ini mau tidak mau harus diperhatikan oleh segenap masyarakat bangsa. Berkaca pada pembagian golongan diatas, fakta golongan pertama yang banyak terdapat di Indonesia menjadi perhatian khusus. Karena dari sana tergambar bahwa kebanyakan masyarakat khususnya generasi muda tidak begitu memerhatikan identitas bangsanya. Identitas bangsa mungkin dianggap jadul dan tidak relevan untuk masa kini. Budaya asing lebih memengaruhi identitas masyarakat dan pemuda saat ini.

Wajar kalau saat ini, musik dan lagu asing lebih sering kita dengar daripada musik dan lagu asli Indonesia. Tarian asing lebih dinikmati daripada tarian tradisional, dan model pakaianpun mengikuti model asing karena model pribumi kuno dan tidak up to date. Lalu bagaimana cara mengeksiskan kembali identitas bangsa Indonesia dalam arus globalisasi dan multikultural saat ini? Semua manusia Indonesia tampaknya sepakat bahwa kita sebagai masyarakat hendaknya kembali kepada nilai-nilai pancasila. Mengimplementasikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan.

Namun ternyata tak semudah kata terucap. Saat ini yang terjadi kalau anda bertanya pada mahasiswa tentang mata kuliah apa yang paling membosankan, maka kebanyakan akan menyebut kewarganegaraan atau pendidikan pancasila. Beberapa merasa mata kuliah tersebut terlalu mudah sehingga bosan mempelajarinya berulang-ulang. Sebagian lagi merasa bosan karena walau dipelajari berkali-kali tetap tidak masuk ke kepala. Namun kalau ditanya kepada mahasiswa tentang apa alat pemersatu bangsa, jelas dan tegas mereka akan menjawab “Pancasila”.

Pancasila hanya sekedar menjadi simbol belaka tanpa makna, sebatas kognitif pada pelajaran sekolah dan kampus tanpa pemaknaan secara afeksi dan perilaku. Kalau kita tetap yakin pancasila satu-satunya alat pemersatu bangsa, penguat identitas bangsa dalam komunitas global dan multikultural saat ini, setidaknya ada 3 langkah yang perlu diperhatikan. 

Yang pertama membangun kepercayaan diri bangsa bahwa kebudayaan Indonesia serta kearifan lokal merupakan sesuatu yang peka jaman, selalu up to date, dan tidak kalah dengan kebudayaan asing. Bahkan budaya Indonesia jauh lebih beragam daripada budaya asing, ini menandakan keragaman sudut pandang masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan.

Yang kedua membangun keyakinan terhadap esensi dari pancasila, mengapa pancasila menjadi dasar Negara, serta mau mempelajari dan mempraktikkannya dalam keseharian. Secara historis pancasila tidak muncul tiba-tiba, ada proses disana dan disepakati bersama karena pancasila merupakan representasi dari pemersatu keragaman budaya Indonesia.

Yang ketiga membangun keyakinan bahwa budaya yang paling cocok untuk orang Indonesia adalah budaya yang berasal dari tanah air sendiri. Mungkin budaya asing bisa terserap menjadi budaya Indonesia, namun tetap perlu ada filter sehingga yang baik-baik sajalah yang terserap.

Saya meyakini identitas bangsa akan kuat di tengah globalisasi saat ini jika tiga hal diatas terwujud pada diri masing-masing anak bangsa. Selain itu  proses penginternalisasi nilai-nilai pancasila menjadi karakter kepribadian setiap anak bangsa juga menjadi penguat munculnya identitas bangsa yang membuat kita berbeda dan memiliki makna bagi negara dan bangsa lain.



Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi: “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. 

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

 Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. 

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. 

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).




 

Cepot




Sastrajingga alias Cepot adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Semar Badranaya dan Sutiragen (sebetulnya Cepot lahir dari saung). Wataknya humoris, suka banyol ngabodor, tak peduli kepada siapa pun baik ksatria, raja maupun para dewa. Kendati begitu lewat humornya dia tetap memberi nasehat petuah dan kritik.



Lakonnya biasanya dikeluarkan oleh dalang di tengah kisah. Selalu menemani para ksatria, terutama Arjuna, Ksatria Madukara yang jadi majikannya. Cepot digunakan dalang untuk menyampaikan pesan-pesan bebas bagi pemirsa dan penonton baik itu nasihat, kritik maupun petuah dan sindiran yang tentu saja disampaikan sambil guyon.



Dalam berkelahi atau perang, Sastrajingga biasa ikut dengan bersenjata bedog alias golok (di Tanah Sunda dikenal juga ada salah satu jenis bedog: bedog cepot). Dalam pengembangannya Cepot juga punya senjata panah. Para denawa (raksasa/buta) biasa jadi lawannya.



Sastrajingga merupakan tokoh panakawan putra Semar Badranaya. Sastra adalah tulisan. Jingga adalah merah. Si Cepot adalah gambaran tokoh wayang yang mempunyai kelakuan buruk ibarat seorang siswa yang mempunyai rapot merah. Namun demikian ia sangat setia mengikuti Semar kemana saja dia pergi. Kehadirannya dalam setiap pagelaran wayang golek sangat dinanti-nanti karena kekocakannya. Asep Sunandar Sunarya menjadikan si Cepot sebagai kokojo/tokoh unggulan pada setiap pagelaran. Bahkan tanda tangan Asep Sunandar ditulis atas nama Cepot.




Rafflesia arnoldi

Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi) ditetapkan menjadi puspa langka melengkapi Melati Putih (puspa bangsa) dan Anggrek Bulan (puspa pesona). Selain menjadi salah satu dari bunga nasional, Rafflesia arnoldii juga menjadi flora identitas provinsi Bengkulu.

Rafflesia arnoldii atau padma raksasa yang merupakan tanaman endemik Sumatera merupakan satu dari sekitar 30-an jenis Rafflesia yang ditemukan di Asia Tenggara, mulai dari semenanjung Malaya, Kalimantan, Sumatra, dan Filipina. Dinamakan padma raksasa lantaran ukuran bunganya yang mampu mencapai diameter 100 cm dengan berat 10 kg.

Tubuhan yang ditetapkan sebagai puspa langka ini tidak memiliki batang, daun, maupun akar yang sebenarnya. Tumbuhan ini hidup secara endoparasit pada tumbuhan inangnya. Satu-satunya bagian tumbuhan Rafflesia yang dapat dilihat di luar tumbuhan inangnya adalah bunga bermahkota lima.

Sampai saat ini Rafflesia arnoldii tidak pernah berhasil dikembangbiakkan di luar habitat aslinya dan apabila akar atau pohon inangnya mati, Raflesia akan ikut mati. Oleh karena itu Raflesia membutuhkan habitat hutan primer untuk dapat bertahan hidup. Mungkin lantaran hal ini yang kemudian menjadi dasar pertimbangan sehingga padma raksasa ditetapkan sebagai puspa langka Indonesia. Bersama melati putih (puspa bangsa) dan anggrek bulan (puspa pesona), Rafflesia arnoldii menjadi bunga nasional Indonesia.Patma raksasa sering disamakan dengan bunga bangkai (Amorphpophallus titanium). Padahal keduanya adalah bunga yang berbeda. 

Klasifikasi ilmiah padma raksasa adalah sebagai berikut: Kerajaan: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Malpighiales; Famili: Rafflesiaceae; Genus: Rafflesia; Spesies: Rafflesia arnoldi.